Pada Rabu, (3/3) Institut Emeritus FTUI kembali menyelenggarakan Sharing Session dengan tema “Pencerahan Tentang Perilaku Virus Covid-19”. Pakar Virologi-Mikrobiologi dan Mantan Direktur Lembaga Eijkman, Prof. Dr. Amin Soebandrio hadir sebagai pembicara. Acara ini juga dihadiri oleh Ketua Institut Emeritus FTUI, Prof. Djoko Hartanto. Turut hadir para guru besar dan dosen di lingkungan FTUI dan UI, antara lain: Prof. Bagio Budiardjo, Dr. Azrar Hadi, Dr. Ellen Tangkudung, Ir, Dr. Dewi Matindas, Prof. Dr. Ir. Emirhadi Suganda, M.Sc, Dr. Ing. Ir. Dwita Sutjiningsih, Dipl. HE, dan Dr. Djamhari Sirat.
Prof. Dr. Amin Soebandrio memaparkan materi berjudul “Pola Perilaku Covid-19”. Dengan mengetahui perilaku virus tersebut diharapkan masyarakat dapat menyikapi keberadaan tersebut dengan bijak. Virus Covid-19 dapat dikatakan sebagai virus yang “cantik” karena memiliki bentuk dan lapisan yang menarik. Namun keindahan bentuknya perlu diwaspadai sebab virus ini berbahaya. Struktur virus corona terdiri dari spike, protein membrane, envelope, RNA, dan protein-N. Dari struktur ini, fungsi spike inilah yang berperan untuk menempel pada reseptor di sel manusia. Setelah virus berhasil menempel pada reseptor dan masuk ke dalam sel, protein-N akan melepaskan materi genetik ke dalam sel yang ditumpanginya dan terjadilah replikasi pada sel yang ditumpanginya.
“Jenis virus corona sebetulnya lebih dari 200 jenis, namun sebagian besar berada di hewan liar dan tidak menginfeksi manusia. Coronavirus berjenis Sars-cov yang menginfeksi manusia pertama kali ditemukan pada tahun 2001-2002. Virus ini banyak dilaporkan terjadi di China dan sempat dikhawatirkan akan menyebar, namun virus ini tidak berkembang lebih jauh menjadi pandemi. Barulah kemudian pada akhir 2019, muncul Sars-covid-2 dan hingga kini masih kita hadapi,” kata Prof. Dr. Amin Soebandrio.
Pola perilaku virus Sars-covid-2 yang perlu diketahui bersama adalah kemampuan virus tersebut bermutasi. Mutasi virus ini terjadi secara alamiah terjadi sebagai upaya bertahan hidup. Mutasi virus membutuhkan waktu yang sekitar 1–2 bulan. Namun, seperti yang kita ketahui, virus Covid-19 sudah menginfeksi ratusan juta orang di seluruh dunia. Hal ini tentunya memperbesar kemungkinan virus untuk bereplikasi dan bermutasi.
“Data hari ini, Covid-19 varian omicron sudah mendominasi hingga 98,5 % dari semua varian yang ada di Indonesia. Selama ini orang-orang menganggap omicron memiliki gejala yang ringan, namun perlu diingat bahwa varian delta masih ada sekitar 1,3% dan pada saat ini jumlahnya masih naik turun. Terhitung pada bulan lalu masih cukup banyak masyarakat yang terinfeksi varian delta. Sementara kita tidak bisa membedakan jenis Covid-19 manakah yang beredar di suatu lingkungan. Oleh karena itu, saat ini kita menganggap belum sampai waktunya untuk Indonesia menyatakan bahwa saat ini sudah endemi,” kata Prof. Amin Soebandrio.
Skenario ke depan yang mungkin terjadi ada dua, yaitu pandemi ini akan menjadi endemi, atau bisa jadi akan muncul varian yang lebih mematikan dari delta. Saat ini sudah ditemukan galur atau keluarga virus corona baru, yaitu NeoCov. Varian baru tersebut baru ditemukan pada kelelawar Afrika yang merupakan mutasi dari Mers-coronavirus. Peneliti mengatakan bahwa hanya perlu satu mutasi lagi untuk mengubah virus ini menjadi virus manusia. NeoCov akan lebih sulit dihadapi karena belum dapat diobati dengan obat yang saat ini dan belum dapat dicegah dengan vaksin yang tersedia.
Dekan FTUI, Prof. Dr. Heri Hermansyah, ST., M.Eng., IPU., menyambut baik kegiatan sharing session dari Institut Emeritus FTUI. Beliau juga menekankan pentingnya mencegah virus menemukan host baru untuk bereplikasi agar tidak menimbulkan mutasi baru. Pencegahan tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat dengan penerapan protokol kesehatan dan vaksinasi.
***
Biro Komunikasi Publik
Fakultas Teknik Universitas Indonesia