Yanita Mila Ardiani, mahasiswa program Doktor Departemen Arsitektur FTUI meneliti perbedaan pola pikir dan pengetahuan dalam memahami dan merespon makna pelestarian bangunan cagar budaya, khususnya dalam melihat otentisitas dan signifikansi yang berkaitan dengan keusangan dan kebaruan. Disertasi Yunita yang berjudul Wacana Keusangan dan Kebaruan Dalam Sejarah Pelestarian Arsitektur Cagar Budaya di Indonesia dipresentasikan pada sidang terbuka promosi Doktor FTUI pada Kamis (9/1) di ruang Smart Classroom GK 304
Yanita membahas sejarah isu konservasi dan wacana keusangan yang menyertainya dari berbagai zaman di Indonesia secara deskriptif kualitatif dengan studi kasus yang ada dan bukti-bukti sejarah. ”Kegiatan konservasi di dunia kini semakin marak, tak terkecuali di Indonesia. Banyaknya bangunan bersejarah di Indonesia membuat pekerjaan konservasi dan pelestarian, baik bangunan tradisional maupun bangunan kolonial Belanda, semakin kompleks,” ungkap Yunita pada awal presentasinya.
Praktik pekerjaan konservasi melahirkan beberapa masalah, di antaranya perubahan ruang lingkup pekerjaan arsitek menjadi konservator, tata kelola pekerjaan konservasi oleh para pemangku kepentingan, juga masalah kekuasaan dalam politik masing-masing era dari kolonial hingga pasca kolonial, yang mempengaruhi praktik konservasi dari waktu ke waktu.
Yanita menyimpulkan bahwa para penguasa yang memproduksi wacana tersebut. Di Era Kolonial, pandangan Eropa terhadap keusangan barang antik dijadikan kekuasaan untuk propaganda “winning the hearts” pribumi. Di Era Pasca Kolonial, pada Era Orde Baru, pihak yang memproduksi pengetahuan tentang wacana keusangan dan kebaruan pelestarian adalah pemerintah yang telah memiliki wawasan kebaruan, namun masih berpayung pada hukum konservasi kolonial. Kemudian, Pasca Reformasi perkembangan wacananya telah disesuaikan dengan UU Cagar Budaya, namun wacana keusangan dan kebaruannya pada beberapa kasus masih berpayung pada UNESCO yang berdasarkan otentisitas meskipun arsitek memiliki cara pandang kebaruan dengan intervensinya.
“Arsitek seharusnya menjadi penengah dan penentu, bukan Arkeolog atau bidang lain, karena Praktik Konservasi Bangunan membutuhkan Arsitek Konservator. Maka dari itu, segera dibutuhkan sebuah Pedoman Praktik Konservasi oleh arsitek,” ujar Yanita mengakhiri presentasinya.
Plt. Dekan FTUI, Prof. Ir. Mahmud Sudibandriyo, MSc., Ph.D., menyampaikan harapannya, “Semoga dengan adanya penelitian ini, pemangku kepentingan, baik arsitek dan instansi terkait dapat berjalan beriringan dalam melakukan konservasi. Sehingga, pada akhirnya dapat memberikan rekomendasi bagi praktik konservasi di Indonesia agar semakin baik ke depannya.”
Yanita berhasil mempertahankan disertasinya dan menjadi Doktor dengan IPK 3,79. Yanita menjadi Doktor ke-28 di Departemen Arsitektur dan ke-585 di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Sidang Promosi Doktor ini dipimpin oleh Ketua Sidang, Prof. Ir. Yulianto Sulistyo Nugroho, M.Sc., Ph.D., dengan Promotor, Prof. Dr. Kemas Ridwan Kurniawan, S.T., M.Sc, dan Ko-Promotor, Dr. Ing. Yulia Nurliani Harahap, S.T., M.Des.S. Tim Penguji terdiri dari Prof. Ir. Evawani Ellisa, M.Eng., Ph.D., Dr.-Ing. Ir. Dalhar Susanto, Ir. Hendrajaya Isnaeni, M.Sc., Ph.D., Azrar Hadi H ramli, Ph.D., dan Dr. Johannes Widodo.
***
Kantor Komunikasi Publik
Fakultas Teknik Universitas Indonesia