enid
enid

Guru Besar FTUI Dorong Peneliti untuk Melakukan Hilirisasi dan Komersialisasi Inovasi Melalui Seminar Terkait Technology Readiness Level

Guru Besar Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia (DTM FTUI), Prof. Sugeng Supriadi, S.T., M.S.Eng., Ph.D., memberikan seminar terkait kesiapan teknologi untuk pasar. Seminar dengan judul “Ready or Not? How to Assess and Accelerate Your Technology Toward Market Readiness” ini, diselenggarakan oleh Unit Riset Inovasi dan Pengabdian Masyarakat FTUI secara daring melalui kanal Zoom pada Selasa (22/4) lalu. 

Kasubdit Riset Berdampak Tinggi, Prasandhya Astagiri Yusuf, S.Si, M.T, Ph.D, membuka acara dengan memberikan sambutannya. Menurutnya, seminar ini merupakan hal yang penting untuk dilakukan demi membuka wawasan peneliti terkait bagaimana membuat inovasi hingga hilirasasi dan komersialisasi. Sangat penting tinjauan demand pull dari industri sehingga inovasi dari peneliti bisa berdampak bagi masyarakat. 

Manajer Riset, Inovasi dan Pengabdian Masyarakat, Dr. Aries Subiantoro, S.T., M.Sc., menjadi moderator dalam seminar ini. Membuka sesi pemaparan, Dr. Aries menjelaskan bahwa dalam program inovasi, peneliti membutuhkan pengetahuan tentang pengembangan bisnis model. Mereka perlu memahami sampai tingkat berapa technology readiness level dari prototype yang dihasilkan. 

Memulai pembahasan, Prof. Sugeng menjelaskan bahwa sesuatu yang dihilirisasi sampai ke pasar adalah produk. Sedangkan di tingkat universitas, peneliti tidak membuat produk, melainkan teknologinya. Jika menilik dari perjalanan produk menuju pasar, perlu diperhatikan beberapa aspek, di antaranya, kebutuhan pasar, kesiapan teknologi, kesiapan pasar, strategi bisnis, dan kesiapan manufaktur. 

Prof. Sugeng memberikan contoh sebuah produk berupa baterai. Terdapat beberapa tingkatan dari produk atau teknologi dari baterai, yaitu sub component, komponen baterai, sel baterai, hingga baterai yang sudah siap pakai. Menurutnya teknologi baterai bukan hanya satu teknologi tunggal, melainkan terdiri dari beragam sub-teknologi pendukung yang saling terkait dan berkembang secara paralel. Tiap level bisa di komersialisasikan dan kuncinya adalah aspek bisnis. 

Dari setiap produk atau teknologi yang dikembangkan, lahir dari 3 tahapan, yaitu pengembangan ilmu, pengembangan teknologi, dan pengembangan bisnis. Ketiganya masing-masing memiliki pelakunya, di mana pengembangan ilmu dilakukan akademisi, pengembangan teknologi dilakukan melalui kolaborasi antara akademisi dan industri, dan terakhir pengembangan bisnis dilakukan oleh industri. 

Prof. Sugeng menjelaskan technology readiness level (TRL) adalah metode untuk memperkirakan kematangan teknologi selama fase akuisisi suatu program. TRL menjadi ukuran standar kematangan teknis di berbagai jenis teknologi. TRL ditentukan selama technology readiness assessment (TRA) yang memeriksa konsep program, persyaratan teknologi, dan kemampuan teknologi yang ditunjukkan. TRL didasarkan pada skala dari 1 hingga 9 dengan 9 sebagai teknologi paling matang. 

Setidaknya terdapat 7 manfaat pengukuran TRL. Di antaranya menilai sejauh mana teknologi sudah matang dan siap digunakan, membantu menentukan prioritas riset, pendanaan, dan langkah pengembangan, mempermudah kerja sama antara peneliti, industri, dan pemerintah dengan standar penilaian yang jelas, mengidentifikasi masalah lebih awal sebelum teknologi diproduksi massal, memudahkan investor dan industri memahami potensi teknologi untuk dipasarkan, membantu pemerintah dan lembaga riset memilih proyek yang layak didanai, dan memungkinkan analisis kemajuan teknologi dibandingkan pesaing. 

Dekan FTUI, Prof. Kemas Ridwan Kurniawan, S.T., M.Sc., Ph.D., turut menanggapi adanya kegiatan ini. “Semoga melalui seminar ini, para peneliti dapat meningkatkan inovasi agar tidak hanya sampai di publikasi, tetapi juga sampai hilirisasi dan komersialisasi.” 

***  

Kantor Komunikasi Publik  

Fakultas Teknik Universitas Indonesia 

X