Universitas Indonesia (UI) melalui Fakultas Teknik (FT) dan PT Petrosea Tbk melakukan konversi bus diesel konvensional menjadi bus listrik atau Electric Vehicle (EV). Pekerjaan proyek ini dilaksanakan oleh Unit Kerja Khusus (UKK) Pengabdian Pada Masyarakat (P2M) Departemen Teknik Mesin FTUI dan Research Center for Advanced Vehicle (RCAVe) UI. Proses konversi bus diesel AKAP jenis HINO R260 ini sudah dimulai sejak tahun 2022 hingga sembilan bulan kemudian. Sebelum diluncurkan secara resmi pada akhir November 2023 lalu, bus jenis ini telah melewati uji coba intensif selama 6.000 jam perjalanan mengelilingi area UI.
“Kolaborasi FTUI dengan industri, dalam hal ini PT Petrosea Tbk, merupakan kesempatan yang baik bagi kami untuk menunjukan komitmen dalam mendorong penurunan emisi dengan penggunaan teknologi ramah lingkungan, seperti Bus Listrik. Pada Bus EV konversi ini, kami juga berhasil memasang sistem kontrol produksi anak bangsa yang pertama di Indonesia. Hal ini merupakan jawaban FTUI terhadap tantangan kemandirian teknologi Indonesia serta mendukung transformasi hijau,” ujar Prof. Dr. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU., Dekan FTUI.
Sementara itu, Direktur RCAVe UI Prof. Dr. Feri Yusivar mengatakan bahwa pengembangan kendaraan listrik nasional memiliki nilai strategis yang sangat tinggi dan vital di sisi ekonomi. Sehingga, kemandirian industri harus dibangun dengan penguasaan teknologi otomotif yang menggunakan sumber daya dan SDM lokal. Ia juga menyampaikan bahwa proyek kolaborasi Battery Electric Bus ini merupakan langkah ke depan yang signifikan dalam mendorong transportasi berkelanjutan di Indonesia dan memberikan kontribusi penting untuk industri otomotif nasional.
Konversi kendaraan listrik merupakan inovasi reverse engineering yang dilakukan dengan mengganti mesin berbahan bakar minyak (BBM) pada kendaraan, dengan motor listrik. Proses reverse engineering ini dilakukan dengan tetap menjaga keamanan dan kinerja kendaraan. Tim RCAVe UI berhasil mengintegrasikan sistem penggerak listrik dengan memperhatikan kekuatan konstruksi dan lokasi pusat massa kendaraan untuk menjaga optimalitas pengendalian.
“Penyempurnaan dilakukan pada beberapa hal, seperti tata letak komponen baru, integrasi sistem penggerak listrik dengan sistem kendali bus, serta teknik menjaga agar penyaluran daya mesin (motor) listrik menjadikan pengereman dan kemampuan berbelok optimal. Selain itu juga, bagaimana mengonversi bus agar tetap sesuai dengan daya dukung jalan yang ada di Indonesia menjadi final ingredient dari produk akhirnya,” kata Dr-Ing. Mohammad Adhitya, Vechicle Development Expert FTUI.
Adapun sistem kontrol pada Bus EV UI ini merupakan hasil inovasi dari Dr. Abdul Muis, ST. M.Eng., Control Expert dari Teknik Elektro FTUI. Meskipun konversi kendaraan konvensional menjadi listrik sudah dimulai sejak satu dekade terakhir, integrasi penuh perangkat EV masih menghadapi tantangan signifikan. Bus listrik Petrosea-UI telah mengimplementasikan perangkat EV terintegrasi dengan protokol komunikasi CAN SAE-J1939, protokol standar untuk kendaraan berat bertenaga listrik. Namun, tantangan utama terletak pada ketiadaan standar parameter PGN-SPN untuk protokol komunikasi ini.
Hingga saat ini, belum ada perangkat integrasi universal yang dapat diterapkan pada berbagai kendaraan listrik. Perangkat integrasi yang dikenal sebagai Vehicle Control Unit (VCU) pada bus listrik atau pada kendaraan listrik secara umum, biasanya dirancang secara spesifik untuk model perangkat EV tertentu. Di Indonesia, sebagian besar bus listrik masih bergantung pada integrator dari luar negeri, yang membatasi kemampuan pengembangan mandiri. Namun, tim UI berhasil melakukan integrasi mandiri pada Bus Listrik Petrosea-UI, memungkinkan kustomisasi perangkat EV tanpa bergantung pada tenaga ahli asing.
Head of Electric Vehicle (EV) PT Petrosea Tbk Sahala Sigalingging, ST, MSc., menekankan komitmen Petrosea terhadap ESG dan dekarbonisasi. “Petrosea berkomitmen penuh pada aspek Environmental, Social, and Governance (ESG). Inisiatif EV merupakan langkah nyata dalam mendukung dekarbonisasi, sejalan dengan strategi 3D (Diversifikasi, Digitalisasi, Dekarbonisasi) Petrosea. Upaya tersebut merupakan bagian proses Petrosea menuju net zero emissions yang akan membutuhkan dukungan dan sinergi penuh dari seluruh pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal,” kata Sahala.
Di industri pertambangan saat ini, mayoritas alat yang ada masih menggunakan bahan bakar fosil, terutama diesel. Dengan berhasilnya proses konversi hasil kolaborasi FTUI dan PT Petrosea Tbk., diharapkan sistem ini dapat diaplikasikan pada industri tambang di Indonesia. Kolaborasi ini menjadi bukti kemampuan dan komitmen akademisi dan industri Indonesia dalam mendorong inovasi berkelanjutan. Konversi bus diesel menjadi bus listrik merupakan langkah besar menuju masa depan transportasi yang lebih bersih dan hijau di Indonesia.
***
Kantor Komunikasi Publik
Fakultas Teknik Universitas Indonesia