Pada Rabu, (23/3) lalu, CEP CCIT Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), lembaga di bawah naungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan teknologi, mengadakan webinar bertajuk “ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi”. Webinar ini menghadirkan pembicara yang berkompeten dalam bidangnya, yaitu Dr. Muhammad Suryanegara ST, M.Sc., IPU (Direktur CEP CCIT FTUI), Prof.Dr.Drs.H.Henry Subiakto, S.H., M.A. (Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia), Rolliansyah Soemirat (Direktur Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), Yuyun Wahyuningrum (Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Right/AICHR), dan Dwi Ardhanariswari, Ph.D (Akademisi Hubungan Internasional, Universitas Indonesia).
Menurut Prof. Dr. Drs. H. Henry Subiakto, S.H., M.A. (Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia), semenjak era digital banyak bermunculan fenomena komunikasi. Kini, setiap orang dapat menjadi komunikator, produser berita, jurnalis, pengamat, komentator, provokator, dll. Masyarakat terhubung dengan internet rata-rata 3-4 jam sehari dan ada 204,7 juta pengguna internet di Indonesia, 4,4 miliar di dunia. Kebebasan berekspresi dijamin dalam UUD 1945 tetapi bukan kebebasan absolut. Sehingga harus ada aturan dan kebenaran bahwa pelanggaran tidak melibatkan tuduhan, fitnah atau provokasi terkait SARA dan sesuai dengan apa yang tercantum dalam UU ITE dikeluarkan sejak tahun 2008.
Kebebasan berekspresi terkait erat dengan ujaran kebencian. Meskipun keduanya sangat berbeda. Ujaran kebencian adalah segala bentuk komunikasi verbal, tertulis, atau perilaku yang menyerang seseorang atau kelompok menggunakan bahasa merendahkan atau diskriminatif ketika mengacu pada seseorang atau suatu kelompok berdasarkan agama, suku atau kebangsaan, asal usul, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin atau faktor identitas lainnya.
“Sementara ruang lingkup hak atas kebebasan berekspresi mencakup perlindungan terhadap ekspresi pendapat dan transmisi ide yang mungkin dianggap sangat menyinggung orang lain, dan ini mungkin termasuk ekspresi yang bersifat diskriminatif dan cara penyebarannya. Hak atas kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak dan negara dapat membatasi hak berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dalam keadaan luar biasa tertentu,” kata Yuyun Wahyuningrum (Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Right/AICHR) dalam presentasinya.
Rolliansyah Soemirat (Direktur Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia) mengatakan standar internasional tentang kebebasan dan berekspresi didasarkan pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Pasal 29 UDHR. Indonesia juga merupakan salah satu yang pertama atau pelopor dalam merumuskan undang-undang tentang kebebasan berekspresi dan khususnya dalam mengatur keamanan dunia maya atau cyber crime di antara negara-negara ASEAN. Walaupun masih belum ada peraturan internasional yang secara khusus mengatur keamanan dunia maya atau cyber crime, padahal saat ini yang isu tersebut sangat penting.
Ditemui di kesempatan terpisah, Dekan FTUI, Prof. Dr. Heri Hermansyah, ST., M.Eng., IPU menyampaikan apresiasinya atas kegiatan webinar yang diselenggarakan oleh CEP-CCIT ini. “Sivitas akademika FTUI sebagai bagian dari warga ASEAN perlu terlibat dan memiliki pengetahuan yang cukup akan isu-isu yang saat ini berkembang terutama terkait HAM. Semoga kedepannya pengetahuan yang disampaikan dapat membantu untuk menghilangkan batasan-batasan dan praktek diskriminasi di Indoenesia,” kata Prof. Heri.
***
Biro Komunikasi Publik
Fakultas Teknik Universitas Indonesia