id
id

Kuliah Tamu Teoh Chee Keong Bahas Pertemuan Budaya dalam Arsitektur Malaysia

Pada Senin (22/4), Program Studi Arsitektur Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) mengadakan kuliah dengan mengundang dosen tamu School of Architecture and Built Environment UCSI Malaysia, Dr. Teoh Chee Keong. Beliau memberikan kuliah bertajuk Cultural Confluence in Malaysian Architecture. Kuliah ini diselenggarakan secara luring di Ruang Multimedia, Gedung Departemen Arsitektur FTUI pada pukul 10.00 – 12.30 WIB dengan peserta dari mahasiswa mata kuliah Sejarah dan Teori Arsitektur.

Sebelum kuliah dimulai, Dr. Ir. Achmad Hery Fuad, M.Eng. selaku Ketua Departemen Arsitektur FTUI, menyampaikan dalam sambutannya, “Kami berharap kegiatan ini dapat berjalan lancar dan setelah ini kita akan berdiskusi lebih banyak terkait kerja sama. Mudah-mudahan para mahasiswa bisa mendapat manfaat yang besar dari kuliah umum ini.”

Dr. Teoh memulai dengan menjelaskan tentang arsitektur vernakular di Malaysia. Beliau menjelaskan, catatan paling awal mengenai arsitektur tradisional di Semenanjung Malaya ditelusuri kembali ke deskripsi oleh sarjana Dinasti Song abad ke-13, Ma Duanlin dalam karyanya Wenxian Tongkao. Dia mencatat kesamaan antara tempat tinggal tradisional Kerajaan Chenla (Khmer) dan Negara Bumi Merah bagian selatan (Tanah Merah).

Menurut penelitian Profesor Xu Yunqiao, Negara Bumi Merah di waktu itu kemungkinan besar mengacu pada wilayah sekitar Songkhla saat ini di selatan Thailand dan Nakhon Si Thammarat di utara. Arsitektur tradisional wilayah ini memiliki ciri yang serupa dengan beberapa negara bagian di Melayu utara Semenanjung seperti Kelantan, Terengganu, Perak, Kedah, dan Perlis, khususnya meluasnya penggunaan gaya rumah dua belas pilar, yang lazim di negara bagian ini serta Thailand selatan.

Dengan bangkitnya kekuatan kolonial imperialis, mulai abad kelima belas, kekuatan kolonial Eropa termasuk Portugal, Belanda, dan Inggris, memperkenalkan konsep perencanaan kota Barat, desain arsitektur, teknik konstruksi, dan sistem manajemen administrasi ke Semenanjung Malaya.

”Mengambil Malaka sebagai contoh, tak lama setelah berakhirnya Kesultanan Malaka pada tahun 1511, Portugis mulai membangun sebuah kota di muara Sungai Malaka, menerapkan konsep manajemen perkotaan Eropa untuk mengontrolnya. Portugis memanfaatkan budak dan penduduk setempat untuk memperoleh batuan laterit dari Pulau Upeh, sebuah pulau karang terluar dekat Malaka, sebagai bahan utama tembok kota. Selain tembok, Portugis juga mulai membangun ruko, fasilitas militer, dan rumah di dalam kota, menggunakan teknik konstruksi tradisional Portugis seperti pondasi penahan beban batu, dinding bata, balok lantai kayu besar, rangka rangka, dan atap genteng, yang memulai pembangunan gelombang modernisasi pertama di Malaka,” jelas Dr. Teoh.

Pada masa penjajahan Belanda, Belanda mewarisi tembok kota yang didirikan oleh Portugis dan memperluasnya sesuai dengan prinsip tata kota mereka sendiri. Mereka bahkan mulai menggali kanal di luar tembok kota, membentuk garis pertahanan baru. Seperti Portugis, Belanda menggunakan batuan laterit untuk membangun tembok dan bangunan kota. Namun, tidak seperti Portugis, Belanda memprakarsai perencanaan jalan dan mendorong imigrasi ke Malaka.

”Karena merkantilisme Belanda serta perencanaan dan pengelolaan lahan yang sistematis, pembangunan jalan-jalan di Malaka dipercepat. Kota-kota kolonial Belanda seperti Malaka dan Batavia (sekarang Jakarta) mengalami perubahan baru dalam perencanaan kota dan bentuk arsitektur, yang secara bertahap berkembang menjadi lanskap budaya unik yang hanya ditemukan di wilayah kolonial,” lanjut Dr. Teoh.

Baik penjajah Portugis maupun Belanda memperkenalkan teknik arsitektur Eropa dan sistem pengelolaan perkotaan ke Malaka, yang kemudian menyebar ke wilayah sekitarnya melalui pedagang dan kekuatan politik lain. Namun pengaruh-pengaruh tersebut tidak sepenuhnya bersifat satu pihak. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, penjajah Eropa pada awalnya memaksakan budaya mereka secara paksa namun akhirnya melakukan kompromi dan penyesuaian terhadap iklim dan adat istiadat setempat, sehingga menghasilkan arsitektur bergaya kolonial yang unik. Beberapa budaya arsitektur tradisional Asia Tenggara bahkan mempengaruhi Eropa, menunjukkan adanya pertukaran pengaruh budaya yang saling menguntungkan. Fenomena interaksi budaya ini dapat dilihat sebagai babak awal globalisasi.

Dekan FTUI, Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU, mengatakan, “Saya mengucapkan terima kasih kepada Teoh Chee Keong yang telah memberikan ilmunya kepada mahasiswa kami. Dengan ilmu yang diberikan Teoh Chee Keong, kita dapat mengetahui sejarah arsitektur di Malaysia, khususnya terkait percampuran budaya. Semoga peserta yang hadir dalam kuliah umum ini dapat menyerap informasi yang disampaikan dengan baik.”

Teoh Chee Keong menjabat sebagai Deputy Dean di School of Architecture and Built Environment, UCSI Malaysia. Beliau mendapatkan gelar BArch (1999) dan MArch (2005) dari Chung Yuan Christian University, Taiwan. Pada tahun 2015 beliau mendapatkan nominasi dari QS Stars Award Reimaging Eduation. Bidang yang diminati Teoh Chee Keong adalah Arsitektur dan Pedagogi, Kajian Budaya, serta Pembelajaran Berbasis Masalah.

***

Kantor Komunikasi Publik
Fakultas Teknik Universitas Indonesia

X